Senin, 27 April 2009

CATATAN KECIL KARTINI

Dear All,
Berikut ini catatan kecil memperingati hari Kartini 21 April.
Perjuangan untuk meningkatkan derajat keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam area publik (ikut dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan) yang telah dimulai sejak era Kartini dalam perjalanannya banyak mengalami berbagai ujian.
Perjuangan yang telah dilakukan sampai saat ini dengan upaya yang terakhir melalui kebijakan afirmasi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun baru sebatas aturan peningkatan partisipasi perempuan di legislatif dengan disyahkannya UU 2/2008 tentang Parpol dan UU 10/2008 ttg Pemilu, namun juga mampu menginspirasi perjuangan menempatkan perempuan di jabatan-jabatan publik lainnya (di eksekutif dan yudikatif).
Pengesahan kedua undang-undang tersebut menandakan capaian dan kemajuan yang luar biasa terhadap upaya menerapkan affirmasi dalam bentuk kuota 30% keterwakilan di parlemen.
Pasal 55 UU 10/2008 yang erat kaitannya dengan pasal 214 UU 10/2008 yang mengandung kebijakan afirmasi nomor urut yang biasa disebut dengan semi zipper (satu diantara tiga bakal caleg sekurang-kurannya perempuan bakal caleg) adalah untuk memastikan peningkatan jumlah perempuan sampai mencapai angka kritis (critical number) 30% di parlemen. Parpol peserta pemilu menjawab imperasi keterwakilan ini dengan menempatkan perempuan caleg pada nomor urut jadi di dapil-dapil yang berdasarkan Pemilu 2004 akan memperoleh kursi.
Arena persaingan dipersempit melalui seleksi di parpol yang mempunyai wewenang untuk menentukan no urut caleg.Sayangnya, keputusan Mahkamah Konsitusi yang mencabut pasal 214 telah menyebabkan pasal 55 tidak mempunyai arti untuk memastikan keterpilihan perempuan karena kemudian persaingan menjadi terbuka, tidak ada perlindungan.
Arena diperluas karena masyarakat diberi kebebasan untuk memilih para caleg yang sayangnya kebijakan afirmasi tidak bisa "dipaksakan" untuk dipahami oleh masyarakat karena sebagian besar masyarakat tidak memahami kebijakan afirmasi kuota 30%. Karena keputusan MK dibuat mendekati hari pemungutan suara, DPR tidak punya cukup waktu untuk merevisi UU 10/2008 untuk "menyelamatkan" ketentuan afirmasi kuota 30% yang sesungguhnya tidak berhenti di tahap nominasi tapi juga untuk memastikan keterpilihan perempuan sebagaimana termuat di pasal 55.
Yang kemudian juga disayangkan Presiden yang memiliki kewenangan mengeluarkan Perpu untuk menampung ketentuan ini tidak memuat aturan yang mengakomodir kebijakan afirmasi.
Perpu 1/2009 tentang Perubahan UU 10/2008 hanya memuat masalah DPT dan pemberian tanda lebih dari satu kali. Kewenangan untuk mengeluarkan Perpu tidak digunakan untuk mengatur penentuan calon terpilih. Justru hanya ditampung di Peraturan KPU yang sayangnya juga tidak ada aturan yang bisa menyelematkan keberadaan politisi perempuan di parlemen.
Meskipun upaya untuk meningkatkan derajat keterwakilan perempuan di parlemen belum sepenuhnya berhasil, namun harapan untuk terus memperjuangkan partisipasi perempuan di area publik tidak boleh putus.
Strategi yang lebih mengena harus disusun dan diupayakan. Semangat dan perjuangan Kartini harus terus dihidupkan sebagai inspirasi yang dapat menyemangati perjuangan persamaan hak-hak perempuan.
Seluruh pemangku kepentingan harus kembali duduk bersama merumuskan kebijakan yang dapat "mengamankan" kuota 30% perempuan di parlemen.
Terima kasih.
Lena

Tidak ada komentar:

Posting Komentar