Senin, 27 April 2009

CALEG PEREMPUAN

CALEG PEREMPUAN
Kompas, 24 Maret 2009

Niat Pemerintah Ditunggu

Jakarta, Kompas – Keputusun Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengancam kebijakan affirmative untuk perempuan melalui kuota 30 persen di parlemen.

Oleh karena itu, calon anggota (caleg) perempuan pun mendesak, dalam hal ini Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, mengupayakan berbagai strategi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.

Desakan itu muncul dalam sarasehan dan temu konsultasi caleg perempuan yang diselenggarakan Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik dan angggota DPD, Mooryati Soedibyo, Senin (23/3) di Jakarta.

Hilangnya payung Hukum bagi kebijakan affiramtif itu membuat posisi caleg perempuan rawan. “Karena payung hukumnya tidak ada, kini tergantung goodwill pemerintah saja. Harus ada kebijakan pemerintah yang mengangkat derajat keterwakilan perempuan. Kini bola bukan di DPR, tetapi pemerintah dan parpol. Mau bagaimana lagi,” kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lena Maryana Mukti.

Selain pemerintah, parpol juga harus mengawal suara perempuan dengan menetapkan kebijakan yang memberi kesempatan kepada perempuan. Tidak bisa lepas tangan begitu saja. Untuk itu, belasan caleg perempuan yang hadir dalam sarasehan juga mendesak parpol mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada keterwakilan perempuan.

Kami harap parpol membuat kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Contohnya, jika ada penggantian calon terpilih perempuan, seharusnya diganti dengan caleg perempuan yang mendapat suara terbanyak berikutnya, “kata Lena lagi.

Sumarno dari KPU DKI Jakarta mengingatkan, putusan MK akan menyebabkan kanibalisme politik antarcaleg di satu parpol yang sama. Caleg hanya memikirkan diri sendiri.

CATATAN KECIL KARTINI

Dear All,
Berikut ini catatan kecil memperingati hari Kartini 21 April.
Perjuangan untuk meningkatkan derajat keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam area publik (ikut dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan) yang telah dimulai sejak era Kartini dalam perjalanannya banyak mengalami berbagai ujian.
Perjuangan yang telah dilakukan sampai saat ini dengan upaya yang terakhir melalui kebijakan afirmasi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun baru sebatas aturan peningkatan partisipasi perempuan di legislatif dengan disyahkannya UU 2/2008 tentang Parpol dan UU 10/2008 ttg Pemilu, namun juga mampu menginspirasi perjuangan menempatkan perempuan di jabatan-jabatan publik lainnya (di eksekutif dan yudikatif).
Pengesahan kedua undang-undang tersebut menandakan capaian dan kemajuan yang luar biasa terhadap upaya menerapkan affirmasi dalam bentuk kuota 30% keterwakilan di parlemen.
Pasal 55 UU 10/2008 yang erat kaitannya dengan pasal 214 UU 10/2008 yang mengandung kebijakan afirmasi nomor urut yang biasa disebut dengan semi zipper (satu diantara tiga bakal caleg sekurang-kurannya perempuan bakal caleg) adalah untuk memastikan peningkatan jumlah perempuan sampai mencapai angka kritis (critical number) 30% di parlemen. Parpol peserta pemilu menjawab imperasi keterwakilan ini dengan menempatkan perempuan caleg pada nomor urut jadi di dapil-dapil yang berdasarkan Pemilu 2004 akan memperoleh kursi.
Arena persaingan dipersempit melalui seleksi di parpol yang mempunyai wewenang untuk menentukan no urut caleg.Sayangnya, keputusan Mahkamah Konsitusi yang mencabut pasal 214 telah menyebabkan pasal 55 tidak mempunyai arti untuk memastikan keterpilihan perempuan karena kemudian persaingan menjadi terbuka, tidak ada perlindungan.
Arena diperluas karena masyarakat diberi kebebasan untuk memilih para caleg yang sayangnya kebijakan afirmasi tidak bisa "dipaksakan" untuk dipahami oleh masyarakat karena sebagian besar masyarakat tidak memahami kebijakan afirmasi kuota 30%. Karena keputusan MK dibuat mendekati hari pemungutan suara, DPR tidak punya cukup waktu untuk merevisi UU 10/2008 untuk "menyelamatkan" ketentuan afirmasi kuota 30% yang sesungguhnya tidak berhenti di tahap nominasi tapi juga untuk memastikan keterpilihan perempuan sebagaimana termuat di pasal 55.
Yang kemudian juga disayangkan Presiden yang memiliki kewenangan mengeluarkan Perpu untuk menampung ketentuan ini tidak memuat aturan yang mengakomodir kebijakan afirmasi.
Perpu 1/2009 tentang Perubahan UU 10/2008 hanya memuat masalah DPT dan pemberian tanda lebih dari satu kali. Kewenangan untuk mengeluarkan Perpu tidak digunakan untuk mengatur penentuan calon terpilih. Justru hanya ditampung di Peraturan KPU yang sayangnya juga tidak ada aturan yang bisa menyelematkan keberadaan politisi perempuan di parlemen.
Meskipun upaya untuk meningkatkan derajat keterwakilan perempuan di parlemen belum sepenuhnya berhasil, namun harapan untuk terus memperjuangkan partisipasi perempuan di area publik tidak boleh putus.
Strategi yang lebih mengena harus disusun dan diupayakan. Semangat dan perjuangan Kartini harus terus dihidupkan sebagai inspirasi yang dapat menyemangati perjuangan persamaan hak-hak perempuan.
Seluruh pemangku kepentingan harus kembali duduk bersama merumuskan kebijakan yang dapat "mengamankan" kuota 30% perempuan di parlemen.
Terima kasih.
Lena

Minggu, 05 April 2009

Meet the candidats: Lena Maryana Hit the Campaign Trail

Jakarta Globe, Sunday April 4, 2009

In a narrow alley in Kali Besar, Central Jakarta, legislative candidate Lena Maryana hands out brochures detailing her vision and mission, as well as the reasons she is running for a seat in the House of Representatives in the April 9 elections.

“Please vote for a candidate who shows genuine concern for people’s welfare and represents public interests,” the 34-year old mother told dozens of Kali Pasir residents, mostly women wearing green headscarves, during a campaign stop last Thursday evening.

“Please don’t accept bribes, including handouts from candidates, because we don’t know where the goods come from,” said Lena, who is running under the Muslim-based United Development Party, or PPP, in the Jakarta II electoral district, which covers Central Jakarta, South Jakarta and overseas voters.

Lena one of the hundreds of women vying for seats in the House of Representatives, or DPR, in next week’s elections, thanks to the election law that requires political parties to allocate at least one-third of their legislative candidate places to women.

The Constitutional Court’s recent ruling that winners of the legislative elections will be determined by the number of valid votes each candidate receives — a first-past-the-post system — now means that female candidates, who are mostly less experienced and poorly funded, will have to push themselves much harder to have a chance at winning.

For example, Lena, who is currently a member of House Commission II, started off Thursday’s campaign with a 10 a.m. stop in Pejompongan, Central Jakarta, followed by an afternoon stint in Petukangan, South Jakarta, before she visited Kali Pasir at around 7:30 p.m.

“I get a lot of mental satisfaction when [the residents] come to understand a bit more about politics and the upcoming elections,” Lena said.

“I’m very happy to share my knowledge with them. I know voter education is very important, especially for working-class people, as their access to the correct information is limited,” Lena told the Jakarta Globe.

She said she wanted to convince people, especially people on low incomes, that casting their votes was important in building democracy in the country.

“I always tell them that casting their ballots is their right as a citizen, not a compulsory chore,” she said. “I also tell them they should carefully choose the candidates because the nation needs the best and most-trusted candidates to build good governance.”

Being a member of a Muslim party that promotes Islamic law, or Shariah , does not prevent Lena from promoting pluralism.

“The people here always react positively to pluralism as they live with it on a daily basis,” she said, adding that Islam also teaches syncretism.


She said she did not have billions of rupiah to spend on her election campaign like some other candidates, but she felt she had more effective ways to manage a good campaign.

“I build good networks within the community and I make sure I personally reply to any questions from voters,” she said, adding that she has a Facebook account and a blog to help her spread the word.

Lena said she was never going to sell her car or house to finance her candidacy, and that her campaign had not cost more than Rp 300 million ($26,100).

“I find leaflets very effective in promoting myself — we printed 60,000 leaflets at a cost of
Rp 300 each,” she said. “I also didn’t use huge banners and prohibited my supporters from sticking my picture on trees.”

Lena said she had deployed some 150 volunteers to go door to door to promote her ideas, adding that those volunteers refused payment as most were members of the Muslim Students Association, an association in which she was active during her college days.

“I don’t go to people’s homes to push them into accepting my campaign ideas, but I’m very happy to go door to door to give them information about politics and the elections,” she said.

Lena also said she was concerned about the participation of women in government.

“The involvement of women in the political world is necessary to improve conditions for women,” she said.

If Lena relies on her reputation as a House member, Dita, one of some 200 activists running
for legislative seats, is counting on her credentials as a labor activist.

Copyright 2009 The Jakarta Globe

Jumat, 27 Maret 2009

CALEG PEREMPUAN

Kompas, 24 Maret 2009

Niat Pemerintah Ditunggu

Jakarta, Kompas – Keputusun Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengancam kebijakan affirmative untuk perempuan melalui kuota 30 persen di parlemen.

Oleh karena itu, calon anggota (caleg) perempuan pun mendesak, dalam hal ini Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, mengupayakan berbagai strategi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.

Desakan itu muncul dalam sarasehan dan temu konsultasi caleg perempuan yang diselenggarakan Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik dan angggota DPD, Mooryati Soedibyo, Senin (23/3) di Jakarta.

Hilangnya payung Hukum bagi kebijakan affiramtif itu membuat posisi caleg perempuan rawan. “Karena payung hukumnya tidak ada, kini tergantung goodwill pemerintah saja. Harus ada kebijakan pemerintah yang mengangkat derajat keterwakilan perempuan. Kini bola bukan di DPR, tetapi pemerintah dan parpol. Mau bagaimana lagi,” kata anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Lena Maryana Mukti.

Selain pemerintah, parpol juga harus mengawal suara perempuan dengan menetapkan kebijakan yang memberi kesempatan kepada perempuan. Tidak bisa lepas tangan begitu saja. Untuk itu, belasan caleg perempuan yang hadir dalam sarasehan juga mendesak parpol mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada keterwakilan perempuan.

Kami harap parpol membuat kebijakan yang berpihak kepada perempuan. Contohnya, jika ada penggantian calon terpilih perempuan, seharusnya diganti dengan caleg perempuan yang mendapat suara terbanyak berikutnya, “kata Lena lagi.

Sumarno dari KPU DKI Jakarta mengingatkan, putusan MK akan menyebabkan kanibalisme politik antarcaleg di satu parpol yang sama. Caleg hanya memikirkan diri sendiri.

Sabtu, 07 Maret 2009

KPU "PELESIR KE LUAR NEGERI"

Suara Merdeka, Rabu 4 Maret 2009

Jakarta, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali mengagendakan kunjungan ke luar negeri untuk melakukan bimbingan teknis kepada Panitia Pemilihan Luar Negeri untuk melakukan bimbingan teknis kepada Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di enam negara, yaitu Belgia (Brussell), Kenya(Nairobi), Singapura, Arab Saudi (Jeddah), AS (Los Angeles), dan Korsel (Seoul).

Menurut anggota KPU, Andi Nurpati, agenda tersebut sudah direncanakan jauh-jauh hari. Dengan pembagian Abdul Aziz ke Seoul, Sri Nuryanti ke Nairobi, I Putu Artha ke LA, Syamsul Bahri dan Endang Sulastri ke Jeddah. “Sementara saya akan ke Singapura dan Brussel,” katanya di Gedung KPU, Jakarta, Selasa(3/3).a.
Bimibingan teknis secara langsung kepada PPLN diperlukan agar mereka lebih memahami ketika memberi bimbingan pada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). Jadi, hal ini sama seperti bimbingan teknis yang kita berikan kepada KPU Kabupaten/Kota, “ujar Andi.
Dia menegaskan, agenda ke luar negeri tersebut tidak akan mengganggu kinerja KPU meskipun waktu pelaksanaan pemilu sudah semakin dekat, karena kepergian anggota KPU sudah diatur sehingga minimal lima anggota tetap berada di Jakarta. “Jadi, bila sewaktu-waktu pleno diperlukan tetap bisa dilakukan,”imbuhnya.


Tidak Mendesak
Namun, rencana KPU berkunjung ke luar negeri kembali menuai kecaman. Mantan anggota panitia khusus (pansus) RUU Pemilu, Lena Maryana Mukti mengatakan, kapasitas penyelenggara pemilu di luar negeri jauh lebih baik daripada di dalam negeri, sehingga bimbingan teknis terhadap mereka tidak terlalu mendesak.
“Bukan bermaksud menafikkan pemilih luar negeri. Tapi sudah jelas KPPLSN kapasitasnya jauh lebih baik karena sebagian juga petugas KBRI. Jadi mereka sudah tahu,” paparnya.
Anggota Komisi II DPR RI ini meminta, daripada ke luaarnegeri, akan lebih baik jika anggota KPU melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia, karena minimnya sosialisasi sejumlah aturan akan mendorong potensi konflik yang tinggi di tingkat TPS.
Senada dengan Lena, Direktur Eksecutif Cetro, Hadar Navis Gumay menilai, kepergian KPU ke luar negeri menunujukkan mereka tidak mengetahui prioritas kerja yang harus didahulukan menghadapi pemilu.
“Apalagi, potensi konflik justru lebih tinggi di Tanah Air dibandingkan di luar negeri,”tandasnya.

Selasa, 03 Maret 2009

PROFIL LENA MARYANA

KELUARGA

Lahir di Jakarta, 22 Desember 1962 adalah anak ke-2 dari sepuluh bersaudara pasangan betawi asli H. Muhammad Mukti Emir (pensiunan pegawai Pemda DKI) dan Hj. Suroya. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di kawasan Tanah Abang, kampung halaman ayah dan ibunya.

Dari pernikahannya dengan dr. Abraham Andi Padlan Patarai, Mkes, lahir tiga putra-putri tercinta Achmad Raihan, Achmad Gibran dan Adinda Nurul Ramadhani

FIGUR AKTIFIS

Karir politiknya dimulai dengan menapak sebagai aktifis mahasiswa, pemuda dan organisasi kemasyarakatan. Semasa mahasiswa berhasil duduk sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari tahun 1987-1989. Di kampus yang sama, ia juga menjadi salah satu pendiri Koperasi Mahasiswa.

Aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sempat menjabat sebagai Ketua PB HMI periode 1990-1992. Selain aktif di HMI, juga di Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI), Persaudaraan Muslim Indonesia (Parmusi), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Asian Council for Religion and Peace (ACRP) dan Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC).

Perempuan yang fasih berbahasa Inggris ini mantap memilih PPP sejak tahun 1992, pernah menjadi Sekretaris Pengurus Harian Pusat di partai ini dan saat ini duduk sebagai anggota Majelis Pakar DPP PPP .

KARIR

Karir pekerjaan ibu tiga anak ini diawali dengan menjadi Dosen di almamaternya pada tahun 1989-1991. Di penghujung tahun 1991, ia menjadi konsultan pengembangan kawasan terpadu, proyek yang dibiayai Bank Dunia, di Departemen Dalam Negeri. Pekerjaan sebagai konsultan dijalankan sampai tahun 2002, selanjutnya bekerja sebagai Tenaga Ahli Menteri Koperasi dan UKM hingga tahun 2004.

MOTIVASI MENJADI ANGGOTA DPR RI

Pengalaman organisasi dan perjalanan karir istri dari seorang dokter ini, menumbuhkan kesadarannya untuk ikut memperbaiki nasib rakyat dengan jalan terlibat secara aktif menciptakan tata pemerintahan yang bersih. Atas dukungan masyarakat Jakarta pada Pemilu 2004 lalu, terpilih sebagai anggota DPR RI dari PPP. Di lembaga ini bergabung ke Komisi 2 yang menangani bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Pertanahan.

Selama duduk sebagai anggota Komisi 2, mantan anggota MPR RI tahun 1997-1999, menunjukkan komitmen dan keberpihakannya kepada masyarakat dengan menjalankan fungsi-fungsi sebagai anggota dewan dengan sebaik-baiknya. Merasakan bahwa masih banyak yang bisa dilakukan di parlemen yang ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, maka ia memutuskan untuk kembali maju sebagai calon anggota legislatif di daerah pemilihan DKI 2 pada Pemilu 2009 yang akan dilaksanakan pada 9 April 2009.


TAGLINE

“KOMPETEN DAN BERDEDIKASI”




KOMITMEN LENA MARYANA:


1. Berjuang bagi terciptanya pemerintahan yang bersih, dimulai dari diri sendiri untuk menjalankan tugas sebagaimana yang diamanahkan undang-undang.

2. Menjalankan fungsi sebagai anggota DPR RI yaitu pembentukan undang-undang, penyusunan anggaran dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dengan mengutamakan prinsip kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

3. Mendorong segera diimplementasikannya Undang-undang No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan murah dan terjangkau.

4. Mengontrol anggaran pendidikan yang telah dialokasikan oleh negara sebesar 20% agar diutamakan bagi peningkatan kualitas anak didik dan tenaga pendidik.

5. Sebagai seorang pejuang hak-hak perempuan, tetap berkomitmen untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan dan keterwakilan perempuan di parlemen.

6. Mendorong Amandemen UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, untuk memperjuangkan kejelasan nasib tenaga kontrak dan upah pekerja.

7. Perlindungan hukum khususnya bagi TKI/TKW yang bekerja di luar negeri, dengan melakukan kerja sama dan kesepakatan hukum dengan negara tujuan sehingga menjamin perlindungan hukum bagi TKI/TKW dan anggota keluarganya.

Riwayat Pendidikan dan Pengabdian


v Pendidikan:
Ø SDN 01 Karet Tengsin, Jakarta, Lulus 1975
Ø SMPN 40 Jakarta, Lulus 1978
Ø SMAN 24 Jakarta, Lulus 1981
Ø Fakultas Tarbiyah, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Lulus 1989

v Pekerjaan:
Ø Anggota Komisi Pemerintahan, Otonomi, Aparatur dan Pertanahan DPR RI, Periode 2004-2009
Ø Tenaga Ahli Menteri, Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2001-2004
Ø Resource Assistant, The World Bank Projects, Ditjen Bangda Depdagri, 1996-2001
Ø Anggota MPR RI, Periode 1997-1999
Ø Senior Management Administrator, The World Bank Projects, Ditjen Bangda Depdagri, 1991-1996
Ø Dosen Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989-1991

v Organisasi:
Ø Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta, Ketua Umum, 1987-1989
Ø Koperasi Mahasiswa (Kopma) IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta, Pendiri, 1987
Ø Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ketua PB HMI, 1990-1992
Ø Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Anggota Departemen Luar Negeri, 1993-1996
Ø Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), DPP KNPI, Anggota Hubungan Luar Negeri, 1993-1996
Ø Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Wakil Ketua Departemen DPP PPP, 1993-2003
Ø Generasi Muda Pembangunan Indonesia, Ketua, 1998-2008
Ø Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), 2001-2006
Ø Indonesian Committee for Religion and Peace (ICRP), Ketua Harian, 2002-2005
Ø Asian Council for Religion and Peace (ACRP), Executive Committee, Women’s Wing, 2002-2005
Ø Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Ketua Pengurus Pusat, 2002-2012
Ø Partai Persatuan Pembangunan, Sekretaris PHP DPP PPP, 2003-2007
Ø Partai Persatuan Pembangunan, Anggota Majelis Pakar, 2007-2012
Ø Parlemen Negara-negara OKI (Parliamentary Union of the OIC Member States/PUIC), Anggota Specialized Standing Committee, 2008-2010
v Kursus/Training:
Ø ASEAN Youth Leadership Training, Menpora dan Universitas Indonesia, Jakarta, 1990
Ø Kursus Singkat Sosial-Ekonomi, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS), Jakarta, 1991
Ø International Visitor Program, Training on Democratization, USIS, Amerika Serikat, 1994
Ø Student Leadership Training, HITACHI, Singapore, 1996
Ø Training on Various Topics, The Sydney Ethic Center, Malaysia, 1996, 1997, 1998, 1999
Ø Comparative Analysis Political Studies, IRI, Amerika Serikat dan Afrika Selatan, 2000
Ø Political Party Development Program (PDP), Center for Democratic Institution (CDI), Australia, 2007
Ø House of Democratic Assistance Commission (HDAC) Program, Washington D.C., AS, 2008


v Seminar/Workshop/Others:
Ø Seminar on Youth and 21st Century Challenges, JICA, Jakarta, 1988
Ø Seminar on Young Parliamentarian, Malaysia, 1991
Ø Seminar, Regional Islamic Scholar in Southeast Asia and Pacific (RISEAP), Singapore 1992
Ø Workshop and General Assembly, World Assembly Muslim Youth (WAMY), Malaysia, 1993
Ø Youth Exchange, Australian Political Exchange Council (APEC), Australia, 1994
Ø Meeting with Islamic Development Bank (IDB), Jeddah, 2001
Ø Trade Mission, Paris dan London, 2001
Ø General Assembly, Asian Council for Religion and Peace (ACRP), Yogyakarta, 2002
Ø Trade Mission, China, 2002
Ø Seminar on Business, Helsinki, Finland, 2002
Ø Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Meeting, Acapulco, Mexico, 2002
Ø Trade Mission, Hungaria dan Bulgaria, 2003
Ø Friendly Visit, Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura, 2006
Ø General Assembly, International Parliamentary Union, Geneva, Swiss, 2006
Ø Study Comparative on Capital City Management, Bangkok, Thailand, 2007
Ø Asian Parliamentary Association Meeting, Tehran, Iran, 2007
Ø Study on Spatial Planning Management, Australia, 2007
Ø Study on Management of Local Government and Public Services, Athena (Yunani), 2007

Ø Seminar on Democracy, Bangkok, Thailand, 2008
Ø Seminar on Special Theme, European Commission, Manila, 2008
Ø General Assembly, Asean Parliamentary Association, Singapura, 2008
Ø Seminar on Democracy, Baku, Azerbaijan, 2008
Ø Kunjungan Grup Kerjasama Bilateral Antar Parlemen, Portugal, 2008
Ø Study comparative on Local Government, Apparatus and Land Reform, Cape Town, Afrika Selatan, 2008
Ø Conference, Parliamentary Union the OIC Member State (PUIC), Niamey, Niger, 2009

Senin, 09 Februari 2009

KEKOSONGAN HUKUM PASCA PUTUSAN MK

Kompas, Senin 9 Februari 2009

Jakarta, Kompas – Pembatalan Pasal 214 Undang-undang nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD oleh Mahkamah Konstitusi membuat terjadi kekosongan hukum, yang harus segera diisi dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Tanpa perpu, tak akan ada kepastian hukum untuk semua pihak, terkait dengan penyelenggaraan pemilu.
Demikian benang merah pendapat mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Ramlan Surbakti, pengamat politik, J Kristiadi, dosen fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, ahli Hukum Tata Negara Satya Arinanto, dan anggota KPU, Andi Nurpati, dalam diskusi terbatas yang digelar oleh Kemitraan di Jakarta, akhir pekan lalu
“Pembatalan Pasal 214 tak hanya menyangkut hilangnya roh afirmasi, tetapi terutama terkait dengan keselamatan negara karena akan terjadi kekacauan hukum, ujar Kristiadi.

Lena Maryana, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) DPR, menambahkan, hilangnya Pasal 214 itu membuat 19 pasal lainnya dalam UU No 10/2008 kehilangan makna.

“Artinya, MK membatalkan pasal yang tidak digugat oleh siapapun, “kata Ramlan.

SEGERA REVISI
Untuk menjamin kepastian hukum, Presiden dan DPR harus segera merevisi UU No 10/2008 karena MK mengatakan, Pasal 55 Ayat 2, setiap tiga calon sekurang-kurangnya satu perempuan, tidak bertentangan dengan UUD. Pasal tersebut hanya akan mencapai tujuannya jika diterjemahkan dalam rumusan pengganti Pasal 214.
Revisi UU No 10/2008 harus dapat mengadopsi putusan MK. Ramlan, Kristiadi, dan Satya sepakat bahwa perpu harus segera dibuat Pemerintah dan disetujui DPR.
Menurut Ramlan, jika pemerintah dan DPR belum melakukan, KPU tak terikat melaksanakan putusan MK sebab belum menjadi dasar hukum. “Alasan kedua berkaitan dengan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemilu, “lanjutnya.
JIka tidak direvisi, akan terjadi ketidakpastian hukum berbentuk pertentangan penafsiran dasar hukum.

Jumat, 06 Februari 2009

KPU MERASA TAK PERLU PERPU

Kompas, Selasa 3 Februari 2009

Jakarta, Kompas – Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum menyepakati untuk menetapkan salah satu calon anggota DPR atau DPRD terpilih dari tiga calon terpilih untuk setiap partai politik per daerah pemilihan diberikan kepada calon anggota legislatif perempuan.

Komisi Pemilihan Umum merasa berhak menetapkan kebijakan afirmatif itu tanpa memerlukan adanya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
Anggota KPU, Andi Nurpati, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR Jakarta, Senin (2/2), mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hanya membatalkan Pasal 214 Undang-undamg (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Sesuai dengan Pasal 213 UU No 10/2008, KPU berhak menetapkan calon terpilih untuk lembaga legislatif sesuai tingkatan.

KPU sudah menyurati MK, dan MK mengatakan bahwa KPU bisa mengatur penetapan calon terpilih berdasarkan Pasal 213, tanpa perlu menunggu revisi UU maupun perpu, kata Nurpati.

Komisioner KPU menyepakati kebijakan afirmatif bagi perempuan karena menilai pembatalan Pasal 214 UU No 10/2008 membuat ruh UU Pemilu hilang. Penetapan satu caleg perempuan diantara tiga caleg terpilih dari satu parpol untuk tetap menyelaraskan penentuan caleg terpilih dengan sistem pemilu yang dianut, yaitu proporsional terbuka terbatas.

Nurpati menambahkan bahwa kesepakatan komisioner KPU itu juga selaras dengan Pasal 28H Ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945. KPU tak membuat aturan yang mengada-ada dalam penentuan calon terpilih, tetapi meneruskan UUD 1945, ujarnya.

Terbelah
Menanggapi keputusan KPU tersebut, sikap anggota Komisi II DPR terpecah. Anggota pria umumnya menolak usulan itu. Sebaliknya, anggota perempuan mendukung rencana KPU itu.

“Saya mendukung keputusan KPU karena dalam amar keputusan MK tak ada yang menyebut penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak, hanya disebut dalam konklusi dan pertimbangan hakim. KPU punya hak mengeksekusi dengan membuat aturan penentuan calon terpilih, tak perlu perpu, kata Lena Maryana Mukti dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP).